4 Syarat Agar Bisnis E-Commerce Melejit dan Jadi Pilar Ekonomi Bangsa
Friday, November 17, 2017
Add Comment
“Bagaimana mungkin saya sanggup sewa outlet yang harganya puluhan juta, sedangkan saya baru merintis bisnis kecil-kecilan,” keluh seorang pebisnis usaha mikro, sebut saja namanya Agus.
Tak ada cacat cela dari produk yang dia hasilkan, berupa aksesoris dari bahan kayu. Sangat cantik, manis, dan halus. Tak kalah dengan produk yang banyak dipajang di toko-toko besar.
Atikah juga mengalami hal yang mirip dengan Agus. Perempuan muda itu sudah lama berwirausaha di bidang garmen.
Dia memiliki beberapa karyawan yang menjahit aneka pakaian dari bahan batik. Jahitannya termasuk halus, modelnya juga menarik.
Namun, Atikah kesulitan memasarkan produknya karena terkendala dengan keterbatasan modal serta jaringan.
Masalah permodalan dan jaringan pemasaran memang masalah klasik yang sering dialami oleh pebisnis skala mikro seperti Agus dan Atikah.
Untuk operasional saja mereka kesulitan, apalagi jika harus menyewa tempat untuk memajang produk mereka agar bisa dilirik oleh calon pembeli.
Revolusi Teknologi Informasi
Untungnya, zaman telah berubah. Berubahnya model website dari platform 1.0 menjadi web 2.0 telah menciptakan revolusi dalam dunia teknologi informasi, di antaranya terbentuknya website yang kian interaktif.
Revolusi ini juga menghinggapi dunia perniagaan. Perdagangan online menggunakan elektronika, dan tentu saja internet, atau yang lazim disebut sebagai e-commerce semakin marak.
Sebagaimana dilansir dari sis.binus.ac.id (24/10/2016), sampai pada tahun 2016, pengguna internet di Indonesia telah menembus angka fantastis, yaitu 88.1 juta pengguna.
Perdagangan elektronik juga telah membukukan nilai transaksi yang menakjubkan, pada tahun 2014, nilai transaksi e-commerce masyarakat Indonesia mencapai angka 130 triliun rupiah.
Perdagangan elektronik menggunakan internet adalah peluang baru bagi pengusaha, apalagi yang masih merupakan pengusaha UKM.
Bayangkan, hanya dengan dana kurang dari sepuluh juta rupiah, sebuah perusahaan UKM bisa memiliki sebuah toko virtual yang mampu diakses kapan saja selama 24 jam oleh customer di seluruh dunia.
Tak perlu harus memiliki toko sendiri dengan biaya operasional yang tinggi.
Banyak juga loh yang baca:
4 Hal yang Harus Dibenahi
Sayangnya, angin segar itu belum sepenuhnya mampu dimanfaatkan oleh para pengusaha UKM. Ada beberapa kendala yang harus segera diatasi sebagai berikut.
1. Gagap Teknologi
Sebagian pengusaha mikro merupakan “pendatang” di dunia digital.
Sebagaimana dilansir dari theatlantic.com (25/3/2014), generasi yang hidup di dunia saat ini terbagi menjadi generasi baby boomers (usia di atas 60 tahun), generasi X (usia 40-an), Y (generasi yang lahir antara tahun 1980 hingga sebelum 1995) dan Z (generasi yang lahir sesudah tahun 1995).
Generasi Y inilah yang disebut dengan generasi milenial, dan generasi Z adalah generasi masa depan.
Saat ini, para pengusaha UKM terdiri dari generasi X dan Y. Generasi Y alias generasi milenial merupakan generasi yang sangat akrab dengan internet, sehingga mudah menyesuaikan diri dengan laju pesatnya revolusi teknologi informasi.
Merekalah yang cukup eksis dalam dunia e-commerce. Adapun generasi X, banyak yang merasa gagap dan sulit untuk segera beradaptasi.
Akan tetapi, go online adalah sebuah keharusan, maka apapun caranya, generasi X harus belajar cepat menyesuaikan perubahan zaman.
2. Kondisi Internet Kurang Mendukung
Meski hampir sepertiga penduduk Indonesia menggunakan internet, ternyata kondisi internet di Indonesia masih belum mendukung bisnis e-commerce.
Masih ada wilayah-wilayah yang belum dijangkau internet, khususnya daerah pedesaan.
Selain tidak tersebar merata, kecepatan internet di Indonesia pun masih jauh dibandingkan dengan negara lain.
Sebagaimana dikutip dari viva.co.id (14/8/2017), berdasarkan uji kecepatan akses pita lebar atau broadband di seluruh dunia, Singapura menduduki posisi pertama, sedangkan Indonesia hanya berada di posisi ke-75.
Jika bisnis e-commerce ingin berkembang dan memberikan dukungan dalam kemajuan ekonomi, akses internet yang murah dan berkecepatan tinggi harus menjadi prioritas pihak terkait.
3. Biaya Ekspedisi Pengiriman Barang Masih Relatif Mahal
Seorang kenalan yang merupakan pelaku bisnis online pernah bercerita, bahwa bersama teman-temannya, dia sengaja menyewa satu gudang di Singapura sebagai warehouse bersama.
Alasannya, biaya kirim dari Singapura ke seluruh dunia jauh lebih murah daripada kirim dari Jakarta, apalagi kota-kota lain di Indonesia.
Demikian juga, pengiriman lokal pun masih terkendala biaya kirim yang sangat tinggi, khususnya untuk daerah-daerah luar Pulau Jawa.
Ke Papua misalnya, untuk kirim satu kilogram barang, bisa mencapai ratusan ribu rupiah, padahal harga barangnya bahkan tidak mencapai semahal itu.
Infrastruktur harus dibenahi, jalan-jalan dibuka, sehingga transportasi di daerah menjadi lebih lancar, yang akan membuat proses distribusi barang menjadi mudah dan murah.
4. Psikologi Konsumen Indonesia
Sebagian besar konsumen Indonesia juga merasa belum “puas” membeli sesuatu tanpa melihat barangnya.
Kenyataan ini diperparah dengan sebagian pelaku bisnis online yang senang memanipulasi produk.
Sebuah produk difoto dan diedit sedemikian rupa, sehingga tampak sangat indah dan menarik, namun aslinya tidak sebagus gambarnya.
Perilaku konsumen lainnya yang juga menghambat kemajuan bisnis e-commerce antara lain masih kurang percaya dengan berbagai fasilitas perbankan seperti kartu kredit, internet banking dan sebagainya.
Bahkan untuk membuat kartu debit pun, masih ada pelaku e-commerce yang merasa tidak sreg, dengan berbagai alasan yang kadang tidak masuk akal, semisal takut penipuan, takut dana dicuri, dan sebagainya.
Teknologi informasi yang tidak disertai dengan fintech (teknologi keuangan), tentu akan mengalami kendala yang mempersulit percepatan pertumbuhan bisnis e-commerce.
Seiring dengan perubahan tradisi masyarakat, serta pengalaman-pengalaman berinteraksi dalam e-commerce yang sangat efektif dan efisien, lama-lama akan ada perubahan perilaku konsumen.
Namun, tentu perlu adanya edukasi terpadu yang diselenggarakan pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk memotivasi masyarakat agar tidak perlu terlalu takut bertransaksi secara online melalui e-commerce.
Empat kendala tersebut harus kita pikirkan bersama sehingga berhasil menemukan solusi yang jitu.
Pemerintah sebagai regulator dan falisitator perlu memberikan fokus perhatian pada penanganan hal-hal tersebut, sehingga bisnis e-commerce yang sangat menguntungkan pengusaha kecil bisa tumbuh pesat.
Inilah saatnya Indonesia mendunia dengan pilar industri mikro yang kreatif, sehat dan kuat.
Tak ada cacat cela dari produk yang dia hasilkan, berupa aksesoris dari bahan kayu. Sangat cantik, manis, dan halus. Tak kalah dengan produk yang banyak dipajang di toko-toko besar.
Atikah juga mengalami hal yang mirip dengan Agus. Perempuan muda itu sudah lama berwirausaha di bidang garmen.
Dia memiliki beberapa karyawan yang menjahit aneka pakaian dari bahan batik. Jahitannya termasuk halus, modelnya juga menarik.
Namun, Atikah kesulitan memasarkan produknya karena terkendala dengan keterbatasan modal serta jaringan.
Masalah permodalan dan jaringan pemasaran memang masalah klasik yang sering dialami oleh pebisnis skala mikro seperti Agus dan Atikah.
Untuk operasional saja mereka kesulitan, apalagi jika harus menyewa tempat untuk memajang produk mereka agar bisa dilirik oleh calon pembeli.
Revolusi Teknologi Informasi
Untungnya, zaman telah berubah. Berubahnya model website dari platform 1.0 menjadi web 2.0 telah menciptakan revolusi dalam dunia teknologi informasi, di antaranya terbentuknya website yang kian interaktif.
Revolusi ini juga menghinggapi dunia perniagaan. Perdagangan online menggunakan elektronika, dan tentu saja internet, atau yang lazim disebut sebagai e-commerce semakin marak.
Sebagaimana dilansir dari sis.binus.ac.id (24/10/2016), sampai pada tahun 2016, pengguna internet di Indonesia telah menembus angka fantastis, yaitu 88.1 juta pengguna.
Perdagangan elektronik juga telah membukukan nilai transaksi yang menakjubkan, pada tahun 2014, nilai transaksi e-commerce masyarakat Indonesia mencapai angka 130 triliun rupiah.
Perdagangan elektronik menggunakan internet adalah peluang baru bagi pengusaha, apalagi yang masih merupakan pengusaha UKM.
Bayangkan, hanya dengan dana kurang dari sepuluh juta rupiah, sebuah perusahaan UKM bisa memiliki sebuah toko virtual yang mampu diakses kapan saja selama 24 jam oleh customer di seluruh dunia.
Tak perlu harus memiliki toko sendiri dengan biaya operasional yang tinggi.
Banyak juga loh yang baca:
4 Hal yang Harus Dibenahi
Sayangnya, angin segar itu belum sepenuhnya mampu dimanfaatkan oleh para pengusaha UKM. Ada beberapa kendala yang harus segera diatasi sebagai berikut.
1. Gagap Teknologi
Sebagian pengusaha mikro merupakan “pendatang” di dunia digital.
Sebagaimana dilansir dari theatlantic.com (25/3/2014), generasi yang hidup di dunia saat ini terbagi menjadi generasi baby boomers (usia di atas 60 tahun), generasi X (usia 40-an), Y (generasi yang lahir antara tahun 1980 hingga sebelum 1995) dan Z (generasi yang lahir sesudah tahun 1995).
Generasi Y inilah yang disebut dengan generasi milenial, dan generasi Z adalah generasi masa depan.
Saat ini, para pengusaha UKM terdiri dari generasi X dan Y. Generasi Y alias generasi milenial merupakan generasi yang sangat akrab dengan internet, sehingga mudah menyesuaikan diri dengan laju pesatnya revolusi teknologi informasi.
Merekalah yang cukup eksis dalam dunia e-commerce. Adapun generasi X, banyak yang merasa gagap dan sulit untuk segera beradaptasi.
Akan tetapi, go online adalah sebuah keharusan, maka apapun caranya, generasi X harus belajar cepat menyesuaikan perubahan zaman.
2. Kondisi Internet Kurang Mendukung
Meski hampir sepertiga penduduk Indonesia menggunakan internet, ternyata kondisi internet di Indonesia masih belum mendukung bisnis e-commerce.
Masih ada wilayah-wilayah yang belum dijangkau internet, khususnya daerah pedesaan.
Selain tidak tersebar merata, kecepatan internet di Indonesia pun masih jauh dibandingkan dengan negara lain.
Sebagaimana dikutip dari viva.co.id (14/8/2017), berdasarkan uji kecepatan akses pita lebar atau broadband di seluruh dunia, Singapura menduduki posisi pertama, sedangkan Indonesia hanya berada di posisi ke-75.
Jika bisnis e-commerce ingin berkembang dan memberikan dukungan dalam kemajuan ekonomi, akses internet yang murah dan berkecepatan tinggi harus menjadi prioritas pihak terkait.
3. Biaya Ekspedisi Pengiriman Barang Masih Relatif Mahal
Seorang kenalan yang merupakan pelaku bisnis online pernah bercerita, bahwa bersama teman-temannya, dia sengaja menyewa satu gudang di Singapura sebagai warehouse bersama.
Alasannya, biaya kirim dari Singapura ke seluruh dunia jauh lebih murah daripada kirim dari Jakarta, apalagi kota-kota lain di Indonesia.
Demikian juga, pengiriman lokal pun masih terkendala biaya kirim yang sangat tinggi, khususnya untuk daerah-daerah luar Pulau Jawa.
Ke Papua misalnya, untuk kirim satu kilogram barang, bisa mencapai ratusan ribu rupiah, padahal harga barangnya bahkan tidak mencapai semahal itu.
Infrastruktur harus dibenahi, jalan-jalan dibuka, sehingga transportasi di daerah menjadi lebih lancar, yang akan membuat proses distribusi barang menjadi mudah dan murah.
4. Psikologi Konsumen Indonesia
Sebagian besar konsumen Indonesia juga merasa belum “puas” membeli sesuatu tanpa melihat barangnya.
Kenyataan ini diperparah dengan sebagian pelaku bisnis online yang senang memanipulasi produk.
Sebuah produk difoto dan diedit sedemikian rupa, sehingga tampak sangat indah dan menarik, namun aslinya tidak sebagus gambarnya.
Perilaku konsumen lainnya yang juga menghambat kemajuan bisnis e-commerce antara lain masih kurang percaya dengan berbagai fasilitas perbankan seperti kartu kredit, internet banking dan sebagainya.
Bahkan untuk membuat kartu debit pun, masih ada pelaku e-commerce yang merasa tidak sreg, dengan berbagai alasan yang kadang tidak masuk akal, semisal takut penipuan, takut dana dicuri, dan sebagainya.
Teknologi informasi yang tidak disertai dengan fintech (teknologi keuangan), tentu akan mengalami kendala yang mempersulit percepatan pertumbuhan bisnis e-commerce.
Seiring dengan perubahan tradisi masyarakat, serta pengalaman-pengalaman berinteraksi dalam e-commerce yang sangat efektif dan efisien, lama-lama akan ada perubahan perilaku konsumen.
Namun, tentu perlu adanya edukasi terpadu yang diselenggarakan pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk memotivasi masyarakat agar tidak perlu terlalu takut bertransaksi secara online melalui e-commerce.
Empat kendala tersebut harus kita pikirkan bersama sehingga berhasil menemukan solusi yang jitu.
Pemerintah sebagai regulator dan falisitator perlu memberikan fokus perhatian pada penanganan hal-hal tersebut, sehingga bisnis e-commerce yang sangat menguntungkan pengusaha kecil bisa tumbuh pesat.
Inilah saatnya Indonesia mendunia dengan pilar industri mikro yang kreatif, sehat dan kuat.
0 Response to "4 Syarat Agar Bisnis E-Commerce Melejit dan Jadi Pilar Ekonomi Bangsa"
Post a Comment
AYO SOB TINGGALKAN KOMENTAR YANG BIJAKSANA DAN BERBOBOT