Kisah Sukses Dari Gubuk ke New York kusnadi dari purwodadi
Saturday, August 19, 2017
Add Comment
Dari Gubuk ke New York
Ia lahir di Gubuk, kota kecamatan kecil di Purwodadi, Jawa
Tengah. Orangtuanya memiliki sebuah toko kelontong di dekat Mrapen, yang tak
bisa disebut besar.
Kecintaannya pada karate membuatnya tak ingin masuk
universitas. Setamat SMA di Semarang pada tahun 1979, ia menjadi pelatih karate
di mana-mana.
Karate menjadi nafkah hidupnya. Seorang pelatih yang melihat
kesungguhan hatinya untuk belajar karate memberi nasihat, "Kalau mau jadi
karateka jangan tanggung-tanggung. Belajar di tempat asalnya sana,
Jepang."
Nasihat itu diterimanya, maka ia pun berangkat ke Tokyo pada
tahun 1983- Cita-citanya cuma satu: menjadi pelatih karate yang andal dan hidup
dari karate. Apalagi di Jepang pelatih karate menerima gaji besar. Sebelum
berhasil mencapai cita-citanya, untuk bertahan hidup ia rela menjadi tukang
cuci piring di restoran. Lalu menjadi pembawa bundel-bundel koran yang dijual
di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah, karena duitnya lebih banyak.
Pernikahannya dengan Neireida, pelatih karate asal Amerika
di Negeri Sakura itu mengubah haluan hidupnya. "Harga diri saya sebagai
lakilaki tidak bisa menerima bahwa gaji\saya lebih kecil dari istri saya,"
katanya terus terang. Dan ia mengajak istrinya pulang ke Gubuk, Purwodadi,
dengan membawa 60 dolar AS di kantong. Untuk menyenangkan Neireida, ia mengajak
sang istri ke Bali.
Tanpa maksud yang jelas, ia membeli kain tenun ikat dan
batik. Semuanya barang bekas. la buatkan desain dan ia jahitkan menjadi pakaian
jadi. Lalu mereka kembali ke Gubuk. "Kalau kita hidup di New York, saya
nggak mau kerja lagi. Sebab kesempatan baik saya di Tokyo hilang. Kamu yang
cari makan, saya tinggal di rumah," demikian tanggapan istrinya ketika
diajak ke New York.
la pun menyanggupinya. Keteguhan hatinya untuk pergi ke New
York setara dengan keteguhan yang membawanya ke Tokyo beberapa tahun
sebelumnya. November 1985 ia tiba di New York dan untuk sementara tinggal di
rumah mertuanya.
Ia hidup dengan
menjual buku saku dan kasetTujuh Orang "Gila" yang Sukses 35 kaset
bekas di kaki lima. Pakaian desainnya dari tenun ikat dan batik bekas dijual di
flea market (pasar kaget) di East Village, depan St. Mark.
Jualannya itu ternyata laku. "Pakaian yang modalnya 5
dolar bisa saya jual 15—20 dolar. Setelah dipakai untuk kebutuhan sehari-hari,
saya masih punya sisa untuk pulang ke Indonesia ditambah modal 300 dolar (AS)
yang saya pakai lagi untuk belanja di Bali," tuturnya dalam sebuah
wawancara di Harian Kompas, tahun 1992.
Kusnadi, demikian namanya, tidak pernah mempersoalkan apakah
ia berbakat atau tidak untuk berbisnis. Yang ia tahu adalah bahwa ia punya
keyakinan kuat untuk dapat hidup di tempat yang diinginkannya, baik di Tokyo
maupun di New York.
Yang ia tahu adalah bahwa ia bersedia bekerja keras untuk
mencari nafkah. Baik ketika di Tokyo maupun di New York, ia pernah menjadi
tukang cuci piring di restoran. "Sebenarnya saya mau jadi pelayan di New
York, tapi sayang bahasa Inggris saya nggak lancar," akunya. Ternyata
penguasaan bahasa Inggris bukanlah determinan utama keberhasilannya.
la cepat beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sewaktu
menjadi pencuci piring di New York, ia hanya berjualan pada hari Sabtu dan
Minggu. Dan setelah menelusuri jalanan dengan naik bis, subway (kereta api
bawah tanah), melihat-lihat kakilima, flea market, tokotoko pakaian, department
stores di hampir seluruh kota, ia yakin dapat hidup dengan berjualan pakaian
saja. Maka Kusnadi pun mulai mengumpulkan modal.
Selama sekitar 4 tahun ia menabung hasil mencuci piring di
restoran pada hari Senin hingga Jumat dan hasil berjualan es krim keliling
blok-blok di New York pada hari SabtuMinggu. Hasilnya lebih besar. Hanya dengan
berjualan es krim, ia dapat mengumpulkan 600 dolar.
Karena itu, ia kemudian bisa kembali belanja kain dan
menjahitkan pakaian desainnya di Bali dengan modal 3.000 dolar AS. Kusnadi juga
belajar bahwa bagi orang New York khususnya dan orang AmerikS pada umumnya,
uang bukan persoalan. "Asal ada kesan alamiah dan motif-motifnya sesuai
dengan selera mereka. Warna-warnanya dekat dengan warna tanah.
Warna kuning dan hijau tidak disukai. Kalau ini
diperhatikan, maka harga tidak menjadi soal. Pernah satu setel pakaian yang
saya tawarkan 40 dolar, orang tidak mau beli. Tapi ketika saya naikkan menjadi
200 dolar, malah laku.
Terutama karena saya mengatakan bahwa ini adalah satusatunya
yang ada di dunia. Berbisnis di New Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 37
York juga harus memberikan kesan besar. Karena itu ketika masih tinggal di
rumah mertua, bila ada telepon, saya dan Neireida selalu menjawab "Kusnadi
Boutique".
Kalau mereka tahu bahwa butik milik Kusnadi itu hanya rumah
tinggal, milik mertua lagi, wah bisa hancur saya," katanya menyimpulkan
pelajaran yang diperolehnya dari segmen pasar yang dilayaninya. Sekalipun
Neireida semula mengatakan tak mau bekerja lagi di New York, namun perjalanan
menentukan lain.
Karena tuntutan
pentingnya memahami syarat dan prosedur ekspor-impor ke dan dari Amerika,
Neireida kemudian menangani masalah ini. Hal itu semula terpaksa dilakukan
karena Kusnadi tak bisa mengurus masalah pakaian jadi dan tenun ikat bekas
seberat 70 kg yang ditahan pihak bea cukai Amerika. Mereka berdua harus
mengumpulkan ribuan dolar untuk dapat menebusnya.
Jadilah mereka partner bisnis, yang tetap bersama sekalipun
memutuskan untuk mengakhiri ikatan perkawinan mereka dan bersiap membina
keluarga baru dengan pasangan masing-masing (Kusnadi kemudian menikah dengan
seorang gadis asal Indramayu yang pernah tinggal di Bandung).
Neireida mengurus perizinan dan hubungan dengan butik-butik
yang menjual tenun ikat mereka di Amerika dan Kanada. 38 SUKSES TANPA GELAR
Kini Kusnadi memiliki dua butik, di New York dan Los Angeles. la
mendistribusikan produknya melalui 1.650 butik di Amerika dan Kanada.
Semua proses produksi dilakukannya di Bali lalu di ekspor ke
Amerika. Di salah satu butik langganannya di Beverly Hills, tempat para bin
tang Hollywood, ia bisa menjual sepotong pakaian seharga 6.000 dolar AS. Salah
satu topi dari tenun ikat berlabel Kusnadi pernah dipakai Mick Jagger dan
kelompoknya dalam suatu pertunjukan di California.
Omsetnya tahun 1991 senilai 1,2 juta dolar dan sekarang
mungkin sudah melampaui 5 juta dolar AS. Jumlah yang luar biasa mengingat modal
awalnya hanya 60 dolar. Kusnadi mempekerjakan lebih dari 100 karyawan di Bali,
tempat mereka rnendesain dan menjahit pakaian. la menghabiskan waktu sekitar
dua bulan di Bali dan dua bulan berikutnya di Amerika.
"Separuh dari
yang bekerja di pabrik saya adalah kawan-kawan saya di Gubuk. Saya ajak ke Bali
dengan keluarganya. Anak-anak mereka saya sekolahkan dan saya berjanji akan
menyekolahkan mereka sampai universitas.
Selebihnya dari pelosok-pelosok desa di Bali, yang namanya
tidak akan dikenal para turis. Walaupun mereka hanya lulusan SD, namun kerja
mereka Tujuh Orang "Gila" yang Sukses 39 luar biasa. Saya juga punya
dua rumah di dua desa terpencil di mana saya membuat batik. Kawan-kawan saya di
sana ada 10 orang di tiap rumah," demikian Kusnadi menuturkan sumber daya
manusia yang dimilikinya.
Ketika ditanya apakah ia merasa sudah berhasil dalam
bisnisnya, Kusnadi mengatakan tidak tahu. la agaknya masih melakukan perjalanan
"ke dalam dirinya" setelah gagal dalam perkawinan yang pertama. Yang
jelas keyakinan pokok (belief) Kusnadi bahwa ia dapat hidup di New York dengan
menjual baju telah terbukti benar.
Jika Anda adalah "anak kampung" yang
"hanya" berijazah SMA, tidak memiliki modal usaha lebih dari 60 dolar
dan tidak fasih berbahasa Inggris, Kusnadi mungkin dapat menjadi tokoh
inspiratif. Walau tak harus menjadi Kusnadi yang lain, Anda dapat menempuh
jalan menuju keberhasilan sesuai dengan pilihan keyakinan Anda sendiri, bukan?
Semoga.
0 Response to "Kisah Sukses Dari Gubuk ke New York kusnadi dari purwodadi"
Post a Comment
AYO SOB TINGGALKAN KOMENTAR YANG BIJAKSANA DAN BERBOBOT